Buku “Atma Bodha” adalah salah satu buku yang berisikan pembahasan spiritual yang mendalam, buku ini ditujukan oleh Anand Krishna selaku penulis untuk para pelaku spiritual yang siap menyelam lebih dalam lagi. Banyak mutiara spiritual yang Belia bagikan di dalam buku ini, berikut ini sedikit kutipan dari buku tersebut mari kita simak bersama-sama:
ATMA BODHA
Meditasi Keadaran Diri
Kasunyatan – Keheningan, Kehampaan Abadi – melampaui aku-ilusif, melampaui pikiran, melampaui mind, ego…
Bagaimana menjelaskan pelampauan itu? Taruhlah, keadaan itu memeang tidak dapat dijelaskan. But, “it” ha to be named, harus diberi nama. Terpaksa. Bila tidak, bagaimana memisahkannya dari mind? Maka para pujangga menyebutnya Nirvaana – ketiadaan, seperti “ketiadaan cahaya” ketika pelita dipadamkan.
Ke mana perginya cahaya?
Dari mana datangnya cahaya?
Kehadiran pelita, sumbu dan minyak tidak serta-merta menghadirkan cahaya. Dibutuhkan pula seorang penyala, seseorang yang menyalakan pelita itu. Kemudian, pelita itu bisa dibiarkan menyala terus hingga padam sendiri, Karena habisnya minyak. Padam, karena hangusnya sumbu. Padam, karena pecahnya pelita. Atau sengaja dipadamkan. Ditiup dan selesai perkara.
Meditasi adalah proses “peniupan”, kematian bagi identitas palsu, ego, mind dan kebangkitan dalam jati diri, dalam kesadaran diri.
Nirvaana bukanlah sekedar pengalaman, tetapi pengalaman terakhir. “Terakhir” bila kita mengukurnya dengan kehidupan. “Terakhir” bagi identitas palsu, ego, mind.
Nirvaana bukanlah sesuatu untuk diagung-agungkan, tetapi untuk dialami. Bukan sesuatu untuk diperdebatkan, tetapi dirasakan.
Di zamannya, Shankara melihat para pelaku agama mengagung-agungkan Nirvaana dan berhenti pada tahap itu. Konsep Nirvaana hanya dipakai secara intelektual.
Kemudian, ramai-ramai mereka menaifkan “aku”, menolak “aku”, padahal yang tengah mengagungkan Nirvaana itu pun “aku”. Yang sedang menaifkan aku pun “aku”. Yang menolak aku pun “aku”.
Kemudian, yang sedang mati-matian mempertahankan konsep dan pemahaman tentang Nirvaana itu pun “aku” . Yang sedang berdebat dan berdiskusi pun “aku’.
Itu sebabnya, Shankara tidak menolak “aku”.Penolakan “aku” sungguh tak berarti, karena penolakan itu sendiri sedah membuktikan adanya “aku” – “Aku” yang sedang menolak.
Shankara “memanfaatka aku”, memeanfaatkanyya sebagain alat tajam untuk mengeluarkan duri “aku ilusif” dari kakinya. Kemudian, baik alat maupun duri itu pun dibuangnya.
Membaca Shankara tidak cukup. Shankara harus ditemui. Dan, sering-sering ditemui, didekati, disapa, disalami. Kaki dia sudah tidak berdarah. Tidak ada lagi duri yang menusuk kakinya. Lihat, lihat, kakimu maih berdarah. Masih ada duri yang menusuk kakimu.
Shankara adalah masa depanmu. Engkau adalah masa lalu Shankara. Ia telah berhasil membebaskan diri dari tusukan duri aku ilusif. Ia bisa. Engkau pun bisa.
Menolak adanya duri tidak akan membantu. Memang betul, duri itu ilusif, dan sesungguhnya tidak ada, tetapi keberadaannya sebagai “ilusi” harus diterima. Kemudian penerimaan itu sendiri menjadi pelampauan. Menerima ilusi sebagai ilusi berarti melampaui keadaran ilusif. Are you getting me? Bila tidak, pejamkan mata dan renungkan kata-kata tadi… Menerima ilusi sebagai ilusi berarti melampaui kesadaran ilusif.
Shankara menemukan konsep dan pengonsepan di mana-mana. Shooyataa, Kasunyataan pun telah menjadi konsep. Padahal, Siddhartha – Sang Buddha – mengajak manusia untuk “mengalami” – nya. Pengetahuan tentang Soonyataa tidak berarti banyak, sebagaimana pengetahuan tentang makanan tak akan mengenyangkan perut Anda.
Kecuali, anda sudab terbiasa makan angin. Ya, makan angin pengetahuan, dan tidak bisa membedakan rasa kembung dari rasa kenyang; tidak bisa membedakan penyakit dan raa akit dari kesehatan. Karena sudah lama menderita, orang bisa lupa kesehatan itu apa.
Shankara menghadapi orang-orang seperti itu. Mereka sudah lupa arti kesehatan. Maka, ia harus mengingatkan mereka, “He, kamu sakit.”
Para penderita pun pada awalnya menolak dia: “Sakit? Kamu yang akit, hankara. Lihat, kami kelompok mayoritas. Kamu saja yang berdiri sendiri. Dasar mahluk aneh. Urusi dirimu sendiri Shankara…”
Shankara tidak marah. Ia malah merayu mereka: “Lihat, lihat, aku bahagia. Bahagiakah engkau?”
“Ya, aku bahagia.”
“Kenapa?”
“!?!”
“Ya, kenapa bahagia?”
“Karena, serba kecukupan; punya tabungan; punya kedudukan; punya nama. Justru kamu yang tidak memiliki apa-apa.”
“Dan, tetap saja aku bahagia. Tidak memiliki apa-apa, tapi bahagia. Bagaimana dengan kamu?
Dapatkah kamu mempertahankan kebahagiaanmu tanpa harta, tahta, dan nama yang kau miliki saat ini?”
Mereka mulai memahami maksud Shankara: bahwasannya kebahagiaan mereka semu, dangkal, tak berarti. Kebahagiaan mereka sangat tergantung pada tabungan, kekeyaan , harta pada kekuasaan, tahta, pada ketenaran, nama. Hari ini ada, maka mereka bahagia. Bila besok tidak ada lagi, kebahagiaan pun akan hilang, lenyap, sirna.
Maka, mereka mendekati Shankara: Apa rahasia kebahagiaanmu? Apa yang membuatmu bahagia?
“Tidak ada rahasia. Kebahagiaanku muncul dari keadaran diri, bahwa ‘aku’ tak tergantung pada apa dan siapa untuk meraakan kebahagiaan itu.”
Diantara mereka, ada yang berteriak histeris; “Tetapi, aku yang kau sebut itu tidak ada.”
“Bagaimana dengan ‘aku’-mu? ‘Aku’-mu yang sedang berteriak histeris saat ini?
Peneriak pun membisu, diam. Mau bilang apa?
“Sudahlah, berhenti berteori, kawan…”
Dan Shankara mulai menyanyi, menari:
Govindam Bhaja Mooda-Mate
Sampraapte Sannihite Kaale
Nahi Nahi Rakshati, Dukrin Karane…
Punaraapi Jananam, Punaraapi Maranam
Punaraapi Janani Jathare Shayanam
Govindam Bhaja Mooda-Mate…..
“Engkau yang masih hidup dalam konsep dan pengonsepan, sebutlah nama Govinda – Nama Ia yang dapat membebaskan kamu dari kesadaran rendah. Tak ada jalan lain, kawan. Tak ada jalan lain.
“Bila tidak kau lakukan hal itu, terjebaklah engkau dalam siklus kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan ini. Lagi-lagi mati, lagi-lagi lahir kembali. Lagi-lagi rahim ibu yang engkau cari. Sebutlah nama Govinda – Nama Ia yang dapat membebaskan kamu dari kesadaran rendah.”
Shankara sungguh sebuah paradox. Shankara mewakili kehidupan ini sendiri. Kadang, ia begitu tegas, keras. Dalam hal kesadaran, ia tak berkompromi.
Kadang, ia mengalir bersama sebuah lagu. Ia menari, menyanyi dan hanyut dalam nyanyiannya sendiri, dalam tariaannya sendiri.
Shankara bukanlah seorang filsuf, seorang sastrawan atau ulama besar. Ia adalah manusia biasa. Ya, manusia biasa yang berhasil menggapai sesuatu yang luar biasa. Kalau Shangkara bisa, anda pun bisa. Untuk itu ada latihan sederhana yang dapat anda lakukan…
Sumber
Judul Buku : “Atma Bodha – Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal” (Buku Bisa diberli melalui WA Order: 087885111979)
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001