total-success-500x500Pertama dan utama, mari bertanya pada diri sendiri, apa ukuran sukses? apakah nominal jumlah rekening di bank? seperti yang dimiliki oleh 6 tokoh yang menjadi capres dan cawapres dalam Pilpres 2009, Prabowo tercatat sebanyak Rp1,7 triliun, SBY sebanyak Rp8,5 miliar, Boediono sebanyak Rp22,06 miliar, JK sebanyak Rp300 miliar, Wiranto sebanyak Rp81 miliar, dan Megawati sebanyak Rp8,1 miliar?

Jawabannya bisa iya, tapi bisa juga tidak. Kenapa? karena hak milik pribadi tersebut baru bermakna jika – dan hanya jika – berfungsi secara sosial. Tapi pada saat yang sama, bagaimana bisa berbagi dengan sesama kalau belum mampu – meminjam istilah Bung Karno – berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Ada beberapa kriteria dasar keberhasilan hidup ala Anand Krishna, antara lain pengendalian diri dan kepuasan batin. Kekayaan yang diperoleh lewat korupsi tak akan langgeng, bahkan terasa hambar ibarat sayur tanpa garam. Keberhasilan sejati justru mendorong setiap putra-putri Ibu Pertiwi untuk berbagi tanpa pamrih dengan sesama anak bangsa yang masih hidup dalam jurang kemiskinan dan tertindas.

Secara ciamik, mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual dan penulis produktif 120 buku lebih, paska sembuh dari penyakit Leukemia pada tahun 1991 ini menganalogikan proses meraih kesuksesan total ibarat membangun rumah. Fondasinya harus kuat, tiang pancang penyangganya musti kokoh, dan bangunan utamanya sendiri mempunyai “isi” perabot yang memadai dan berkualitas.

Referensi utama buku ini ialah karya legendaris Napoleon Hill (Think and Grow Rich, 1937) yang menginspirasi lahirnya film dan buku laris di seantero dunia berjudul The Secret. Kemudian lebih surut ke belakang, Total Success juga memetik hikmah kebijaksanaan hidup dari wejangan Sang Maha Guru Adi Shankaracharya (abad ke-8) yang termaktub dalam kitab kuno Sadhana Panchakam.

Rumusan Hill

Orang bijak tak membangun rumah di atas gundukan pasir. Sebab, ibarat rumah kartu, bangunan tersebut akan mudah ambruk diterjang badai dan tersapu pasang-surut kehidupan.

Demikian pula dengan mendirikan bangunan keberhasilan sejati, anak manusia membutuhkan adonan landasan niat yang kuat (Will Power), imaginasi kreatif (Creative Vision), antusiasme tinggi (Enthusiasm), dan persiapan yang matang (Good Planning) (hlm 79-104).

Selanjutnya, ada 4 tiang penyangga utama rumah keberhasilan. Pertama, Mastermind alias orang-orang yang memiliki keahlian (skill) pada bidangnya. Oleh sebab itu, berendah hatilah dan belajarlah dari mereka yang lebih berpengalaman. Kedua, praktek (Applied Faith) atau dalam tradisi Kejawen disebut lelaku. Niat saja tidak cukup, ia musti dipraksiskan lewat tindakan.

Ketiga, kemampuan mengambil keputusan (Decision), cukup jelas seruan Napoleon Bonaparte, “Tak ada yang lebih sulit, dan karenanya lebih berharga daripada kemampuan untuk mengambil keputusan (hlm 129).” Penyesalan terbesar manusia ialah tak berani mengambil keputusan pada saat tepat. Keempat, ketekunan (Persistence). Tidak sudi menyerah sebelum mancapai apa yang diniatkan di awal.

Khusus untuk “isi” bangunan, sejatinya terdapat 11 prinsip (hlm 139-209). Tapi yang paling menarik ialah poin terakhir, last but not least yakni bagaimana mengubah energi seks (Transmutation of Sexual Energy). Dengan latihan secara tekun anak manusia bisa menggunakan energi seks untuk mengubah kegagalan menjadi keberhasilan (Sex for Success).

Otak manusia rata-rata memikirkan 60.000 hal setiap hari. Padahal pikiran-pikiran tersebut mayoritas tak perlu diperhatikan secara berlebihan. Saat mengalami orgasme seksual, pikiran terhenti seketika (no mind). Keadaan atau rasa pang rasa tersebut bisa merembesi keseharian aktivitas hidup. Turunannya berupa peningkatan daya imaginasi, produktivitas, dan kreativitas.

Pesan Shankara

Tiga modal utama manusia ialah waktu, ruang, dan nafas.

Bayi terlahir pada weton (waktu) tertentu dan menghembuskan nafas terakhirpun dalam pelukan Sang Maha Kala. Ada 3 matra imaginer dalam aliran kontinuitas waktu, yakni masa lalu (past), depan (future), dan kini (now). Suatu kali resensor melihat penarik becak di bilangan Jalan Affandi (Gejayan) Yogyakarta, ia mengenakan kaos oblong bergambar kijing (nisan). Tulisannya menarik untuk dicerna bersama, “Gunakan hidupmu, sebelum matimu!”

Memang selagi hidup managemen waktu begitu penting. Caranya, dengan membagi 24 jam sehari dalam 3 kuadran. Delapan jam pertama untuk bekerja, 8 jam kedua untuk pengembangan diri (memuai), dan sisa delapan jam ketiga untuk makan, minum, tidur, seks, dan MCK. Tapi yang utama ialah disiplin pemanfaatan waktu. Kenapa? karena setiap saat itu unik. Tuhan terlalu kreatif untuk menyutradarai 2 adegan yang sama dalam episode drama di panggung kehidupan ini.

Sejak keluar dari gua garba hangat Ibunda (26 derajat Celcius), Tuhan menganugerahi ruang tubuh bagi manusia. Bangunan rumah bisa porak-poranda digoyang gempa, ambruk diayak angin puting-beliung, dan tenggelam diterjang lumpur “Bakrie” Lapindo, tapi badan ini menjadi “aset” manusia selagi berhayat. Bahkan ahli biologi menaksir total harga organ tubuh manusia mencapai Rp3 triliun lebih. Nominal ini melebihi harta kekayaan Prabowo sekalipun.

Selanjutnya, nafas sebagai pertanda kehidupan (elan vital). Menurut penelitian medis, manusia rata-rata bernafas 21.600 kali sehari. Ini proses dahsyat tapi acapkali tak tersadari. Saat terserang asma atau jelang ajal menjemput, baru kita ngeh (paham) signifikasi proses tarik-buang nafas.

Dalam situasi kacau nafas manusia menjadi cepat, seperti monyet yang siklus nafasnya mencapai 32-36 kali permenit. Manusia lazimnya bernafas rata-rata 15 siklus permenit. Irama nafas berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Kenapa? Karena kadar oksigen di neuron otak memadai, sehingga ia mampu mencerna informasi dengan jernih. Inilah magnet alami yang menarik kesuksesan sungkem mencium kaki Anda.

Akhir kata, buku ini bukan sekedar teori, karena ia terlahir dari pengalaman workshop dan pelatihan seni memberdaya diri di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan manca negara. Penting dibaca oleh siapa saja yang sungguh berniat untuk menjadi sukses lahir-batin. Mengutip Geogre S. Patton, “Saya tidak mengukur keberhasilan seseorang dari ketinggian yang telah ia daki, tetapi dari kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh dan menyentuh dasar.”

[tux-alert type=”info”]

T. Nugroho Angkasa S.Pd
Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma
dan Aktivis National Integration Movement Yogyakarta
Blog: local-wisdom.blogspot.com

[/tux-alert]